KATAMU SEMANGATKU
Sri
Arum Endang Setyowati
Gadis
belia yang tetap berdiri tegar, tegak, kokoh bagai terumbu karang, Syakila
Nurafifa. Ia hidup penuh dengan lika-liku namun tetap bangkit lagi dari
kegagalan dan masalah hidupnya yang mengalami pasang surut, kadang bahagia
menghampiri kadang pula kesedihan yang meliputi. Remaja yang hidup dalam
tekanan batin serta kesulitan berjuang akan cita-cita mulianya di atas
penderitaan. Gadis berkerudung ini kasar namun berhati lembut, cuek namun
begitu peduli, berjiwa pemimpin yang berpendirian tanpa mau dipimpin, terlihat
kuat namun sebenarnya rapuh, terlihat tegar namun dalam hati ia kesepian. Di
antara banyaknya teman, ia terlihat bahagia tertawa bersama mereka namun
hatinya merasa merana. Saat orang melihat hanya dari sampulnya begitu kerasnya
ia padahal di dalamnya ia sangat kesepian, sangat menderita, rapuh dan ingin
akan kasih sayang, ingin diperhatikan dan juga dikasihi. Ia duduk di sekolah
yang tak pernah ia harapkan. Yang ia tau hanya menjalaninya. Hidup tak tau arah,
tujuan serta motivasi karena pilihannya tak direstui.
Itulah seorang Kila sapaan akrabnya,
Kila yang putus asa atas nasibnya. Ia
ingat satu tahun silam dimana ia masih tahap awal masuk tingkatan SMA/SMK
dimana ia masih duduk di kelas X. Hidup Kila bagai tanpa nyawa tanpa semangat
belajar. Pikirannya tak karuan merasa suaranya tak didengar. Sungguh hidup yang
penuh keluhan, tanpa rasa syukur dan nyaris putus asa. Hingga suatu hari ia
bertemu teman lama teman SD Kila, untuk
bersilaturahmi ke rumah guru SD mereka. Disana ia berjumpa dengan calon-calon
orang hebat mulai dari kelas IX-XII dari sekolah biasa hingga elit yang dimana
orang-orang ini mempunyai aura semangat belajar tinggi. Betapa kecilnya Kila
yang tak punya rasa untuk semangat belajar! Betapa malu dirinya, serasa ia
ingin pergi saja. Kila merasa ia kecil, tak punya ilmu atau apapun yang dapat
dibanggakan ataupun dibagikan.
Wejangan-wejangan dari guru lamapun
ia dengarkan, ia perhatikan dan ia selalu ingat akan kata-kata beliau “Hidup
itu bukan hanya untuk berhasil namun untuk terus mencoba. Semiskin apa kita,
setidak bisanya kita namun Allah akan mengangkat derajat orang yang
berilmu!”. Lalu ia juga ingat “ Ilmu
tanpa iman akan buta namun iman tanpa ilmu akan lumpuh jadi keduanya harus
berimbang”. Yang paling membuat sesak hatinya adalah saat gurunya berkata “
Angkatlah derajat kedua orang tua kita dengan ilmu yang kita punya dan mengamalkannya. Selalu syukuri apapun keadaan
kita tanpa keluh kesah karena hidup
percuma apabila waktumu hanya digunakan untuk sebuah penyesalan”. Kata-kata
tersebut membuat percikan hasrat di hatinya ada keinginan dan semangat untuk
kembali. Kembali bermimpi, kembali berjuang, kembali bergairah untuk mengejar
cita-citanya. Hari itupun merupakan sebuah titik ledakan dalam hidupnya menuju
perubahan yang positif. Ia tak ingin lagi diremehkan tak ingin lagi dipandang
sebelah mata ia ingin menunjukkan ke dunia bahwa ia bisa.
Semangatnya terpancar dari senyumnya, sorot matanya serta
setiap langkahnya pun mulai ia nikmati. “Hmmmm.. betapa ketinggalannya aku
dalam pelajaran! Satu tahun telah kusia-siakan tanpa ada kejelasan. Aku harus bisa memanfaatkan waktuku sebaik
mungkin mulai detik ini” tekat hatinya. Kilapun mulai mengatur kegiatannya. Tak
ingin waktunya terbuang sia-sia ia ingin mengisi waktunya dengan belajar dan
belajar mengejar ketertinggalannya. Namun masalah selalu muncul disaat masalah
lain terselesaikan. Itulah yang terjadi pada Kila. Disaat semangat belajarnya
kembali sebuah lubang besar membuatnya terjatuh lagi, namun bagaimana cara Kila
bangkit tergantung padanya.
Dadanya terasa sesak, Kila membenci
apapun yang tak sesuai dengan hatinya tanpa alasan yang jelas ia pun sering
uring-uringan. Hal ini karena adanya pertengkaran dari kedua orang tua Kila
yang tak segera terselesaikan. Orang tua Kila sering bertengkar di hadapan Kila
mereka tak mau mengalah, saling menyalahkan satu sama lain dan tak ada yang mau
tuk disalahkan. Sebagai anak sulung ia hanya bisa memendam amarahnya. Kila
ingin tersedu namun ia tak mau terlihat dihadapan adiknya. Kila ingin menangis
sejadi-jadinya namun ia takut terdengar oleh tetangga. Ia tak berkutik, serba salah. Mencoba menenangkan adiknya
namun ia sendiri tak tenang, mencoba menghibur adiknya namun ia sendiri tak
bisa tersenyum. “ Mengapa Tuhan? Mengapa harus aku dan adikku? Mengapa? ”
teriak Kila sambil menahan tangis. Kila ingin bertahan, tak ingin terlihat
lemah di depan siapapun atas perpecahan keluarganya namun hatinya terlalu sesak
untuk bertahan.
Terkadang Kila pun bertanya-tanya “
Mengapa aku terlahir disini? Seandainya aku bisa memilih”. Sungguh kata-kata
putus asa dan tak berdasarkan kodrat, rencana juga anugerah dari Yang Maha
Kuasa. Sehingga Kila merasa dengki juga mengutuk dirinya sendiri. Ia ingin lari
pergi dari kehidupannya yang fana ini. Terlalu sakit hatinya tuk tetap tinggal
di rumah, namun terlalu berat ia melangkah. Kila menjerit dalam diam, ia
menangis dalam senyuman paksaan. Begitu berat beban yang ia pikul. Begitu pilu
ia meratapi nasibnya. “ Kapan semua ini berakhir Tuhan? Kapan kan kurasa
bahagia?” keluh Kila.
Saat otaknya berputar melebihi
aturan, saat tekanan yang ia rasa mencapai tingkat maksimal ia mulai membenci
kedua orangtuanya. Ayah maupun ibunya ia benci mereka, ia muak pada mereka.
Kata-kata yang keluar hanyalah kepalsuan tanpa kepastian, hanya kebisuan tanpa
kejelasan dan penjelasan. Betapa ia ingin merobohkan, merusak apa yang
ditemuinya dengan emosi yang meluap-luap dengan amarah yang membakar akal
sehatnya. Tak kuasa menanggung beban batinnya Kila akhirnya meluapkan ganjalan
hatinya lewat deraian air mata, lewat
isakan tak bersuara ia tertidur dalam mimpi yang ia harapkan. Paginya ia bangun
dari mimpi yang memabukkan, ia berangkat sekolah dengan membawa luka hati. Kila
melalui setiap pelajaran dengan gelisah, tanpa disadari lonceng sekolahpun
berbunyi. Ia tak ingin pulang, ia ingin tetap tinggal di kelas. Dengan terpaksa
ia pulang, alangkah kaget hatinya saat ia pulang rumahnya dikerumuni banyak
orang dengan tatapan kasihan. Tak mau berlama-lama diluar Kila segera lari
masuk ke rumah. Betapa terkejutnya Kila, degupan jantungnya tak berirama ia
kaget bukan main. Ternyata ibunya jatuh sakit, dengan rasa bersalah ia memeluk
ibunya tercinta. Betapa ia membenci ibunya namun dalam hati Kila sangat menyayanginya.
Menyesal ia berbuat kekanak-kanakan dengan tak ingin bicara pada ibunya,
mengabaikan, mengacuhkan ibunya serta telah membuat sakit hatinya. “ Maafkan
aku ibu… Maafkan aku… Aku janji tak berbuat seperti itu lagi,…
hiks..hiks..hiks..” kata Kila sambil terisak.
Walaupun orangtuanya tetap berpisah,
Kila mencoba memahaminya. Ia bersyukur ibunya lekas sembuh. Dengan begitu
Kilapun bertekat untuk selalu membuat ibunya tersenyum dan membuatnya bangga
juga tak ingin menyakitinya lagi. Selama ini ia salah karena tak mau bersyukur
atas keadaan. Kila mulai belajar bahwa hidup akan bahagia apabila kita
mensyukuri segala nikmat-Nya. Nikmat yang telah Tuhan berikan pada kita.
Di tengah persawahan saat matahari
baru saja menampakkan diri dengan lantang Kila berteriak “ Aku siap denganmu
dunia! Kan ku genggam kau di tanganku, aku takkan menyerah untuk berusaha!”.
Gema dari suaranya pun memantul dengan lantang serta membuat siapa saja yang
mendengarnya ikut takjub akan semangatnya. Ia lega akan umpan balik dari gema
tersebut. Kila siap akan segala resiko dalam hidupnya. Ia kembali pulang dengan
hati lapang dan senyuman yang terus mengembang di wajahnya.