Jumat, 21 November 2014

cerpen terbaru 2014


KATAMU SEMANGATKU
Sri Arum Endang Setyowati
                                                                                       
Gadis belia yang tetap berdiri tegar, tegak, kokoh bagai terumbu karang, Syakila Nurafifa. Ia hidup penuh dengan lika-liku namun tetap bangkit lagi dari kegagalan dan masalah hidupnya yang mengalami pasang surut, kadang bahagia menghampiri kadang pula kesedihan yang meliputi. Remaja yang hidup dalam tekanan batin serta kesulitan berjuang akan cita-cita mulianya di atas penderitaan. Gadis berkerudung ini kasar namun berhati lembut, cuek namun begitu peduli, berjiwa pemimpin yang berpendirian tanpa mau dipimpin, terlihat kuat namun sebenarnya rapuh, terlihat tegar namun dalam hati ia kesepian. Di antara banyaknya teman, ia terlihat bahagia tertawa bersama mereka namun hatinya merasa merana. Saat orang melihat hanya dari sampulnya begitu kerasnya ia padahal di dalamnya ia sangat kesepian, sangat menderita, rapuh dan ingin akan kasih sayang, ingin diperhatikan dan juga dikasihi. Ia duduk di sekolah yang tak pernah ia harapkan. Yang ia tau hanya menjalaninya. Hidup tak tau arah, tujuan serta motivasi karena pilihannya tak direstui.
            Itulah seorang Kila sapaan akrabnya, Kila  yang putus asa atas nasibnya. Ia ingat satu tahun silam dimana ia masih tahap awal masuk tingkatan SMA/SMK dimana ia masih duduk di kelas X. Hidup Kila bagai tanpa nyawa tanpa semangat belajar. Pikirannya tak karuan merasa suaranya tak didengar. Sungguh hidup yang penuh keluhan, tanpa rasa syukur dan nyaris putus asa. Hingga suatu hari ia bertemu teman lama  teman SD Kila, untuk bersilaturahmi ke rumah guru SD mereka. Disana ia berjumpa dengan calon-calon orang hebat mulai dari kelas IX-XII dari sekolah biasa hingga elit yang dimana orang-orang ini mempunyai aura semangat belajar tinggi. Betapa kecilnya Kila yang tak punya rasa untuk semangat belajar! Betapa malu dirinya, serasa ia ingin pergi saja. Kila merasa ia kecil, tak punya ilmu atau apapun yang dapat dibanggakan ataupun dibagikan.
            Wejangan-wejangan dari guru lamapun ia dengarkan, ia perhatikan dan ia selalu ingat akan kata-kata beliau “Hidup itu bukan hanya untuk berhasil namun untuk terus mencoba. Semiskin apa kita, setidak bisanya kita namun Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu!”.  Lalu ia juga ingat “ Ilmu tanpa iman akan buta namun iman tanpa ilmu akan lumpuh jadi keduanya harus berimbang”. Yang paling membuat sesak hatinya adalah saat gurunya berkata “ Angkatlah derajat kedua orang tua kita dengan ilmu yang kita punya dan  mengamalkannya. Selalu syukuri apapun keadaan kita tanpa keluh kesah karena  hidup percuma apabila waktumu hanya digunakan untuk sebuah penyesalan”. Kata-kata tersebut membuat percikan hasrat di hatinya ada keinginan dan semangat untuk kembali. Kembali bermimpi, kembali berjuang, kembali bergairah untuk mengejar cita-citanya. Hari itupun merupakan sebuah titik ledakan dalam hidupnya menuju perubahan yang positif. Ia tak ingin lagi diremehkan tak ingin lagi dipandang sebelah mata ia ingin menunjukkan ke dunia bahwa ia bisa.
            Semangatnya  terpancar dari senyumnya, sorot matanya serta setiap langkahnya pun mulai ia nikmati. “Hmmmm.. betapa ketinggalannya aku dalam pelajaran! Satu tahun telah kusia-siakan tanpa ada kejelasan.  Aku harus bisa memanfaatkan waktuku sebaik mungkin mulai detik ini” tekat hatinya. Kilapun mulai mengatur kegiatannya. Tak ingin waktunya terbuang sia-sia ia ingin mengisi waktunya dengan belajar dan belajar mengejar ketertinggalannya. Namun masalah selalu muncul disaat masalah lain terselesaikan. Itulah yang terjadi pada Kila. Disaat semangat belajarnya kembali sebuah lubang besar membuatnya terjatuh lagi, namun bagaimana cara Kila bangkit tergantung padanya.
            Dadanya terasa sesak, Kila membenci apapun yang tak sesuai dengan hatinya tanpa alasan yang jelas ia pun sering uring-uringan. Hal ini karena adanya pertengkaran dari kedua orang tua Kila yang tak segera terselesaikan. Orang tua Kila sering bertengkar di hadapan Kila mereka tak mau mengalah, saling menyalahkan satu sama lain dan tak ada yang mau tuk disalahkan. Sebagai anak sulung ia hanya bisa memendam amarahnya. Kila ingin tersedu namun ia tak mau terlihat dihadapan adiknya. Kila ingin menangis sejadi-jadinya namun ia takut terdengar oleh tetangga. Ia tak berkutik,  serba salah. Mencoba menenangkan adiknya namun ia sendiri tak tenang, mencoba menghibur adiknya namun ia sendiri tak bisa tersenyum. “ Mengapa Tuhan? Mengapa harus aku dan adikku? Mengapa? ” teriak Kila sambil menahan tangis. Kila ingin bertahan, tak ingin terlihat lemah di depan siapapun atas perpecahan keluarganya namun hatinya terlalu sesak untuk bertahan.
            Terkadang Kila pun bertanya-tanya “ Mengapa aku terlahir disini? Seandainya aku bisa memilih”. Sungguh kata-kata putus asa dan tak berdasarkan kodrat, rencana juga anugerah dari Yang Maha Kuasa. Sehingga Kila merasa dengki juga mengutuk dirinya sendiri. Ia ingin lari pergi dari kehidupannya yang fana ini. Terlalu sakit hatinya tuk tetap tinggal di rumah, namun terlalu berat ia melangkah. Kila menjerit dalam diam, ia menangis dalam senyuman paksaan. Begitu berat beban yang ia pikul. Begitu pilu ia meratapi nasibnya. “ Kapan semua ini berakhir Tuhan? Kapan kan kurasa bahagia?” keluh Kila.
            Saat otaknya berputar melebihi aturan, saat tekanan yang ia rasa mencapai tingkat maksimal ia mulai membenci kedua orangtuanya. Ayah maupun ibunya ia benci mereka, ia muak pada mereka. Kata-kata yang keluar hanyalah kepalsuan tanpa kepastian, hanya kebisuan tanpa kejelasan dan penjelasan. Betapa ia ingin merobohkan, merusak apa yang ditemuinya dengan emosi yang meluap-luap dengan amarah yang membakar akal sehatnya. Tak kuasa menanggung beban batinnya Kila akhirnya meluapkan ganjalan hatinya  lewat deraian air mata, lewat isakan tak bersuara ia tertidur dalam mimpi yang ia harapkan. Paginya ia bangun dari mimpi yang memabukkan, ia berangkat sekolah dengan membawa luka hati. Kila melalui setiap pelajaran dengan gelisah, tanpa disadari lonceng sekolahpun berbunyi. Ia tak ingin pulang, ia ingin tetap tinggal di kelas. Dengan terpaksa ia pulang, alangkah kaget hatinya saat ia pulang rumahnya dikerumuni banyak orang dengan tatapan kasihan. Tak mau berlama-lama diluar Kila segera lari masuk ke rumah. Betapa terkejutnya Kila, degupan jantungnya tak berirama ia kaget bukan main. Ternyata ibunya jatuh sakit, dengan rasa bersalah ia memeluk ibunya tercinta. Betapa ia membenci ibunya namun dalam hati Kila sangat menyayanginya. Menyesal ia berbuat kekanak-kanakan dengan tak ingin bicara pada ibunya, mengabaikan, mengacuhkan ibunya serta telah membuat sakit hatinya. “ Maafkan aku ibu… Maafkan aku… Aku janji tak berbuat seperti itu lagi,… hiks..hiks..hiks..” kata Kila sambil terisak.
            Walaupun orangtuanya tetap berpisah, Kila mencoba memahaminya. Ia bersyukur ibunya lekas sembuh. Dengan begitu Kilapun bertekat untuk selalu membuat ibunya tersenyum dan membuatnya bangga juga tak ingin menyakitinya lagi. Selama ini ia salah karena tak mau bersyukur atas keadaan. Kila mulai belajar bahwa hidup akan bahagia apabila kita mensyukuri segala nikmat-Nya. Nikmat yang telah Tuhan berikan pada kita.
            Di tengah persawahan saat matahari baru saja menampakkan diri dengan lantang Kila berteriak “ Aku siap denganmu dunia! Kan ku genggam kau di tanganku, aku takkan menyerah untuk berusaha!”. Gema dari suaranya pun memantul dengan lantang serta membuat siapa saja yang mendengarnya ikut takjub akan semangatnya. Ia lega akan umpan balik dari gema tersebut. Kila siap akan segala resiko dalam hidupnya. Ia kembali pulang dengan hati lapang dan senyuman yang terus mengembang di wajahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar